Pagiku yang Hilang

Bandung, 10 Juni 2016

 

Karya: Seny Soniaty

Hujan turun dengan derasnya. Hawa dingin menyelimuti udara hari ini. Ya, pagi ini. Entah mengapa, di hari Sabtu ini hujan mengguyur langitku ini dengan derasnya. Kotaku yang dingin semakin dingin dengan hadirnya hujan.

Aku bangkit dari tempat tidurku, memaksa langkah kaki ini menuju luar. Ah..segarnya udara pagi sehabis hujan. Membuat rasa malas dan semangat bercampur. Inginku rasanya seperti hujan, turun dengan derasnya lalu menguap begitu saja.

Hari ini aku tak berencana pergi kemana-mana atau melakukan apapun. Hanya diam di kamar kosanku ini. Namun ada yang mengusik hati dan pikiranku. Entah apa, yang kurasa hanya sesuatu yang kosong.

Jam di dinding menunjukkan waktu 08.05 saat handphon- ku berbunyi.

“Nomor tidak dikenal. Hmm..siapa yang pagi-pagi gini nelpon ya?” pikirku.

Ku angkat telpon itu.

“Assalamu’alaikum” sapaku.

“Wa’alaikumsalam. Apa kabar?” sahut yang menelepon.

Suara itu, serasa ku kenal dengan baik. Sejenak ku berpikir.

“Masih ingat aku g?”

Pertanyaan sangat sederhana yang dilontarkan si empunya suara.

“Hmm..siapa ya? Maaf.” Jawabku sekadarnya.

“Kamu g inget aku?”

Aku menggeleng yang tentunya tak akan bisa dilihat oleh si empunya suara.

“Iaaa..kamu g inget aku???”” teriak suara itu.

Oh Tuhan..dia..hanya 1 orang yang manggil aku dengan sebuan Ia.

“Lila? Ini Lila? Kamu kemana aja? Gada kabar sama sekali. Ngilang sekian lama. Baru nongol sekarang!” Teriakku yang baru sadar siapa si empunya suara itu.

Oh Tuhan. Lila Kinanti. Temanku masa kecil. Sudah lebih dari 10 tahun tidak mendapat kabarnya. Sekarang dia menghubungiku. Ah, senangnya rasa ini bisa bersua kembali dengan teman baikku ini.

“Aku baik Ia. Alhamdulillah. Sekarang tinggal di Yogyakarta ngikut suami. Kebetulan minggu lalu aku ketemu sama Diana, adik kelas kita waktu di SMP itu loh. Masih inget dia kan? Nah, aku ngobrol-ngobrol sama dia dan ternyata kalian masih keep in touch. Jadi deh aku minta nomormu ke dia. And..here i am, ngobrol sama kamuuuu..kangen tau!!!” jelasnya dengan panjang lebar.

Ku tutup telepon dari Lila. Kuhempaskan diri ini ke tempat tidur. Rasanya sungguh luar biasa bisa bersua kembali dengan teman lama, apalagi tingkatan sahabat. Ah ya, kami terpisahkan oleh jarak dan waktu. Lupa aku kenapa sampai kami tak berkomunikasi selama bertahun-tahun. Yang pasti kami terpisahkan.

Drr…drrrr..drrr…

Teleponku berdering lagi. Nomor tak dikenal lagi.

“Hmm..mungkin dari temen lama lagi. Aha..banyak yang kangen nih hari ini.” pikirku sambil tersenyum.

“Assalamu’alaikum” sapaku.

“Wa’alaikusalam. Adelia, ini Tata.” jawab yang menelpon

“Oh iya Ta. Ada apa?” tanyaku.

“Kamu bisa ga ke Rumah Sakit sekarang? Ale masuk rumah sakit.”

“Ale masuk Rumah Sakit? Kenapa?” tanyaku.

Aku beranjak dari kamarku. Bersiap untuk pergi ke Rumah Sakit. Rasanya sungguh aneh. Di satu sisi aku bahagia dapat bersua dengan teman lama, di sisi yang lain ada perasaan sedih dan takut karena sahabatku masuk rumah sakit. Ale, namanya Alena, sahabat yang selalu mendampingiku dikala senang dan susah. Dia yang selalu kuat dan selalu menguatkan.

Tepat jam 10.05 aku sampai di Rumah Sakit. Ale di ruang UGD. Dia kecelakaan tadi subuh. Aku tak terlalu menyimak apa yang dijelaskan oleh Tata soal kejadian kecelakaan itu. Pikiranku melayang, menecemaskan keadaan Ale.

“Oh Tuhan, apakah ini yang membuat perasaan dan pikiranku ga karuan hari ini? Semoga bukan ini Tuhan. “ Gumamku dalam hati.

Ku hanya bisa berdo’a sambil sesekali melihat ke arah ruangan UGD. Berharap ada kabar baik yang disampaikan para perawat atau dokter di Rumah Sakit ini. Pikirku melayang. Dada ini serasa sesak. Entahlah..aku tak bisa menjelaskan ini. Aku bingung dengan rasa ini.

Seorang laki-laki menghampiriku, Rizal, kakaknya Alena. Dia mengabarkan keadaan Alena. Aku hanya bisa terdiam seribu basa. Inginku membungkam mulutnya yang sedang bicara. Tak mau ku mendengar apa yang dia ucapkan. Ya, Alena, sahabatku itu, pergi menghadap Illahi.

Ku dengar suara Ibunya menjerit, menangis kehilangan putrinya. Ku lihat Bapaknya mengelus dada sembari mengucapkan istigfar berkali-kali. Ku lihat Tata, menangis sembari mencoba menenangkan Ibunya Alena. Kulihat Rizal, mengehela nafas panjang sembari beristigfar. Dan aku, masih terdiam disini, duduk di kursi lorong Rumah Sakit, memandangi sekitar, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Berharap ini hanyalah mimpi belaka.

Pagiku hilang di hari Sabtu. Sahabat terbaikku pergi selamanya, tanpa kata, tanpa bicara, tanpa senyuman perpisahan. Hanya jasad yang sudah terbujur kaku yang ku lihat. Jasad yang telah ditinggalkan si empunya untuk menghadap Illahi. Inginku membangunkan dia, tapi apa daya, kuasa Tuhan lebih besar dari manusia.

Hilang ku rasa

Hilang ku pikir

Kehilangan yang tak berarti hilang

Kehilangan yang tak berarti berpisah

Inginku katakan tak mau kehilangan

Tapi kehilangan selalu datang

Ku hanya terdiam

Tanpa kata tanpa bicara

 

*Tamat*

Leave a comment